BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penagihan
pajak merupakan salah satu perhatian utama para pihak di pemerintahan, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Secara garis besar, Penagihan pajak merrupakan
serangkaian upaya atau tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan mengatur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan surat paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melakukan penyanderaan, menjual
barang-barang yang telah disita.
Tujuan
penagihan pajak di dalam instansi pemerintahan antara lain adalah untuk menjaga
kestabilan pendapat keuangan baik di daerah maupun pusat. Karena pajak
merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Harus diakui bahwa kesadaran masyarakat
dalam pembayaran pajak masih sangat kurang. Salah satu penyebab tidak lancarnya
pembayaran pajak adalah karena ketidakjelasan dari sistem pembayaran pajak itu
sendiri yang digunakan selama ini dan tidak dapat memberikan gambaran yang
komprehensif mengenai inisiatif, aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat dan
potensi sumberdaya yang dimilikinya.
Dalam
tiap-tiap masyarakat, ada hubungan antara manusia dengan manusia, dan selalu
ada peraturan yang mengikatnya yaitu hukum. Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban
manusia. Hak untuk memperoleh gaji / upah dari pekerjaan membawa kewajiban
untuk menghasilkan atau untuk bekerja. Demikian juga dengan pajak, hak untuk
mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban
menyerahkan sebagian kepada negara dalam bentuk untuk membantu negara dalam
meninggikan kesejahteraan umum. Begitu pula hak untuk memperoleh dan memiliki
gedung, mobil dan barang lain membawa kewajiban untuk menyumbang kepada negara.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan penagihan pajak dengan surat paksa?
2. Apa
itu pengadilan pajak?
3. Apa
saja subjek dan objek pajak penghasilan?
4. Apa
yang dimaksud dengan wajib pajak penghasilan dan kewajiban pajak subjektif?
5. Apa
saja yang termasuk biaya deductible dan biaya non-deductible?
6. Bagaimana
penentuan tarif umum pajak penghasilan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“perpajakan”
2. Untuk
menjelaskan mengenai penagihan pajak dengan surat paksa
3. Untuk
menjelaskan tentang pengadilan pajak
4. Untuk
menjelaskan tentang subjek dan objek pajak
5. Untuk
menjelaskan tentang wajib pajak penghasilan dan kewajiban pajak subjektif
6. Untuk
menjelaskan tentang biaya deductible dan biaya non-deductible
7. Untuk
menjelaskan mengenai tarif umum pajak penghasilan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa
1. Dasar Hukum
Undang-undang
nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2000.
2.
Pengertian-Pengertian
a)
Penanggung Pajak,
Orang
pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil
yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
b)
Penagihan Pajak
Serangkaian
tindakan agar Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanaan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
c)
Biaya Penagihan Pajak
Biaya
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman
Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan
penagihan pajak.
3.
Pejabat Dan Jurusita
Pajak
Pejabat adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita,
Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat
Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak
sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh Utang
Pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah. Menteri Keuangan berwenang
menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat. Kepala Daerah Berwenang menunjuk
Pejabat untuk penagihan pajak daerah. Jurusita Pajak adalah pelaksanaan
tindakan penagihan yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus,
pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Tugas
Jurusita Pajak :
a.
Melaksanakan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus
b.
Memberitahukan Surat Paksa
c.
Melaksanakan penyitaan atas barang
Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
d.
Melaksanakan penyanderaan berdasarkan
Surat Perintah Penyanderaan
Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan
memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk
menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal
Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat
penyimpanan objek sita.
4.
Penagihan Seketika dan
Sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang
dilakukan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis
pajak, Masa Pajak dan Tahun pajak. Jurusita Pajak melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan apabila:
a.
Penanggung Pajak akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b.
Penanggung Pajak memindahtangankan
barang yang dimliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau
mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c.
Terdapat tanda-tanda bahwa
Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menghubungkan usahanya,
atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau
dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.
d.
Badan usaha akan dibubarkan oleh
negara
e.
Terjadinya penyitaan atas barang
Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus
sekurang-kurangnya memuat:
a.
Nama Wajib Pajak, atau Nama Wajib
Pajak dan Penanggung Pajak
b.
Besarnya Utang Pajak
c.
Perintah untuk membayar
d.
Saat pelunasan pajak
Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
5.
Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Surat Paksa
sekurang-kurangnya meliputi:
a.
Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib
Pajak dan Penanggung Pajak
b.
Dasar Penagihan
c.
Besarnya Utang Pajak, dan
d.
Perintah untuk membayar
Surat Paksa diterbitkan apabila :
a.
Penanggung pajak tidak melunasi
utang pajak dan kepadanya diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau
surat lain yang sejenis
b.
Terhadap penanggung pajak telah
dilaksanakan penagihan seketika
c.
Penanggung pajak tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak
kepada:
a.
Penanggung pajak
b.
Orang dewasa yang bertempat
tinggal bersama atau bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila
penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.
c.
Salah satu ahli waris atau
pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya apabila wajib pajak
telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi.
d.
Para ahli waris, apabila wajib
pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita kepada:
a.
Pengurus, kepala perwakilan,
kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal.
b.
Pegawai tetap ditempat kedudukan
atau tempat usaha badan, apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana dimaksud dalam point (a).
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, Surat pajak diberitahukan
kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam
hal wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam likuiditas. Surat paksa
diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan
atau likuidator,
Catatan:
- Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan surat paksa.
- Pelaksanaan surat paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah surat paksa diberitahukan.
6. Penyitaan
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk mnguasai barang
penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan
perundang-undangan. Apabila utang pajak dilunasi penanggung pajak dalam jangka
waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setalah surat paksa diberitahukan,
pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Penyitaan dilakukan
oleh jurusita pajak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah
dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak, dan dapat
dipercaya. Setiap mekaksanakan penyitaan, jurusita pajak membuat berita acara
pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh juru sita pajak, dan saksi-saksi. Barang
yang dapat disita dapat berupa:
a.
Barang bergerak termasuk mobil,
perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau
surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dan
atau
b.
Barang tidak bergerak termasuk
tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Barang bergerak yang dikecualikan dari
penyitaan adalah:
a.
Pakaian dan tempat tidur beserta
pelengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajakdan keluarga yang menjadi
tanggungannya.
b.
Persediaan makanan dan minuman
untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang ada di rumah.
c.
Buku-buku yang bertalian dengan
jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan
d.
Perlengkapan Penanggung Pajak yang
bersifat dinas yang diperoleh dari negara.
e.
Peralatan dalam keadaan jalan yang
masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan
jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan atau
keputusan Kepala daerah.
f.
Peralatan penyandang cacat yang
digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita
oleh pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang telah
disita tersebut, jurusita pajak menyampaikan surat paksa kepada pengadilan
Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan negeri dalam sidang
sebelumnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
Sedangkan instansi lain yang berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan
barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau
instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang
tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahulu negara untuk tagihan pajak. Hak
mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:
a.
Biaya perkara yang semata-mata
disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau
barang tidak bergerak.
b.
Biaya-biaya yang telah dikeluarkan
untuk menyelamatkan barang tersebut.
c.
Biaya perkara yang semata-mata
disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
a.
Nilai barang yang disita tidak
cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, atau.
b.
Hasil lelang barang yang telah
disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung
pajak telah melunasi biaya penagihan dan utang pajak atau berdasarkan putusan
pengadilan atau putusan pengadilan pajak atau ditetapkan lain dengan keputusan
menteri keuangan atau keputusan kepala daerah.
Catatan :
- Berita acara pelaksanaan sita mempunyai kekuatan mengikat meskipun, penanggung jawab pajak menolak menandatangani.
- Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
Lelang
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka
umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha
pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak dan atau tertulis
melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak atau
biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah melakukan penyitaan, pejabat
berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barng yang telah disita
melalui kantor lelang. Penjualan barang lelang
dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang
melalui media masa. Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 (empat
belas) hari setelah penyitaan. Pengumuman lelang untuk barang bergerak
dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
Pengumuman lelang barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh
juta) tidak harus di umumkan melalui media massa. Hasil lelang
dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang beulm
dibayar, dan sisanya untuk membayar utang pajak. Dalam hal penjualan secara
lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen) dari pokok lelang, dan
secara tidak lelang biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen) dari hasil
penjualan. Besarnya biaya penagihan pajak adalah Rp 50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) untuk setiap pemberitahuan surat paksa dan Rp 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk setiap pelaksanaan.
B.
Pengadilan
Pajak
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa pajak
adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
undang-undang penagihan dengan surat paksa
1. Tempat
Kedudukan
Pengadilan
pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara.
Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat
pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.
Saat ini terdapat dua tempat bersidang di luar tempat kedudukan yakni di Yogyakarta dan Surabaya.
2.
Organisasi
Susunan
Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan
Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan
sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua. Saat ini Sekretaris merangkap tugas
Kepaniteraan sebagai Panitera. Pembinaan serta pengawasan umum terhadap Hakim
Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan
pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan ditanggulangi oleh Kementerian Keuangan. Selain
itu, ada juga penjelasan dalam pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 , secara tegas
dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus
di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Adapun dasar untuk menegaskan
kedudukan Pengadilan Pajak dalam lingkup peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung, adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 004/PUU-11/2004
dinyatakan, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali
atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
3.
Permasalahan
Dilihat dari
fungsinya, Pengadilan Pajak merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan ranah atau wilayah kekuasaan Yudikatif. Artinya,
secara konseptual pembinaan yang ditempatkan di satu sisi di Mahkamah Agung sebagai lembaga Yudikatif dan di
sisi lain pembinaan ditempatkan di Kementerian Keuangan sebagai lembaga
Eksekutif tidak konsisten atau menciptakan kontradiksi. Seharusnya berdasarkan
prinsip pemisahan kekuasaan terdapat pemisahan yang tegas antara lembaga
yudikatif dan eksekutif, dengan kata lain untuk keseluruh pembinaan di
pengadilan pajak menjadi satu atap atau dilaksanakan oleh satu institusi saja.
C.
Subjek
& Objek Pajak Penghasilan
1.
Subjek
Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak
Penghasilan (PPH) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.
Subjek PPh
meliputi :
1. Orang
Pribadi
2. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
3. Badan
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Subjek Pajak
Dalam Negeri adalah :
- Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesis lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
Kecuali unit
tertentu dari badan pemerintahan yang memenuhi kriteria :
- Pembentukannya berdasarkan ketentuan dan perundang-undangan
- Pembiayaan bersumber dari APBN atau APBD.
- Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah
- Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
- Warisan yang belum terbagi satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek Pajak
Luar Negeri adalah :
- Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesis tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
- Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesis tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Tidak Termasuk
Subjek Pajak
a. Kantor
perwakilan Negara asing;
b. Pejabat
perwakilan diplomatic, dan konsulat atau pejabat-pejabat dari Negara asing dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka, dengan syarat :
Ø Bukan
Warga Negara Indonesia; dan
Ø Di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaan tersebut; serta
Ø Negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik Organisasi-organisasi Internasional yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
o Indonesia
menjadi anggota organisasi tersebut;
o Tidak
menjalankan usaha; atau
o Kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman
kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
c. Pejabat-pejabat
perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat :
Ø Bukan
warga Negara Indonesia; dan
Ø Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
2. Objek Pajak Penghasilan
Yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
1.
Penggantian atau
imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini
2.
Hadiah dari undian atau
pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3.
Laba usaha
4.
Keuntungan karena penjualan
atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal;
b.Keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya;
c. Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan
nama dan dalam bentuk apa pun;
d.
Keuntungan karena pengalihan
harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan
sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
5.
Penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
6.
Bunga termasuk premium, diskonto,
dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7.
Dividen, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8.
Royalti atau imbalan atas
penggunaan hak;
9.
Sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan
utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih
kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi
asuransi;
15. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
16. Tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan
dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus
Bank Indonesia
Objek PPh Bersifat Final:
a.
Penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
penghasilan berupa hadiah
undian;
c.
penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.
Penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha
real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e.
Penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Dikecualikan dari objek pajak
a. Bahan
yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
b. warisan;
c. Harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d.
Penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak
atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib
pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15;
e. Pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa;
f. Dividen
atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan
usaha milik daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di indonesia dengan syarat:
g.Dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
h.Bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara
dan badan usaha milik daerah yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
i. Iuran
yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan menteri
keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai;
j. Penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan;
k.Bagian laba
yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif;
l. Penghasilan yang diterima
atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
m.
Merupakan perusahaan
mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan peraturan menteri keuangan; dan
n.Sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di indonesia;
o.
beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri
keuangan
p.Sisa lebih
yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling
lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa
lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri
keuangan; dan
q. Bantuan
atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara
jaminan sosial kepada wajib pajak tertentu, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan.
D.
Wajib
Pajak Penghasilan & Kewajiban Pajak Subjektif
Pajak
Penghasilan adalah jenis pajak subjektif di mana pengenaan pajaknya lebih
melihat subjeknya dulu daripada objeknya. Coba kita tengok Pasal 1 UU Pajak
Penghasilan, yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
pajak. Penekanannya yang pertama adalah subyek pajak, baru kemudian
obyeknya yaitu penghasilan. Urutan pasal-pasal dalam UU Pajak Penghasilan juga
menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif. Ketentuan mengenai
subyek pajak diatur lebih dulu di Pasal 2, 2A dan Pasal 3. Baru kemudian diatur
mengenai objeknya di Pasal 4.
Sehubungan dengan subyek pajak ini, dalam Pajak Penghasilan dikenal istilah
Kewajiban Pajak Subjektif. Istilah ini mengandung arti bahwa seseorang,
sesuatu atau badan sudah memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak Penghasilan
dilihat dari sudut subyeknya. Apabila subyek pajak ini menerima atau memperoleh
penghasilan, maka ia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Tetapi sebaliknya,
apabila sesuatu, seseorang atau badan tidak memenuhi syarat kewajiban pajak
subjektif, maka walaupun ia memiliki penghasilan, ia tidak dapat dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan UU Pajak Penghasilan.Jadi, kewajiban pajak
subjektif ini sangat penting maknanya dalam Pajak Penghasilan karena merupakan entry
point dalam pengenaan Pajak Penghasilan. Dengan demikian, kapan seseorang,
sesuatu atau badan mulai memenuhi syarat kewajiban pajak subjektif adalah
sangat penting dalam Pajak Penghasilan. Begitu juga dengan berakhirnya
kewajiban pajak subjektif.
1. Mulai dan
Akhir Kewajiban Pajak Subjektif
Undang-undang
Pajak Penghasilan memberikan tempat di Pasal 2A yang khusus mengatur kapan
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif. Selengkapnya, saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut :
·
Untuk subjek pajak orang pribadi
dalam negeri : dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada
saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
·
Untuk subjek pajak badan dalam
negeri : dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
·
Untuk subjek pajak luar negeri
berupa BUT : dimulai pada saat orang pribadi atau badan
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
·
Untuk subjek pajak luar negeri non
BUT : dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
2. Kewajiban
Pajak Subjektif dan PTKP
Pengenaan
Pajak Penghasilan dilakukan secara periodik setiap tahun. Jangka waktu
pengenaan Pajak Penghasilan ini dinamakan tahun pajak sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1 UU PPh. Tahun pajak ini pada umumnya adalah tahun takwim mulai
dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Nah, jika kewajiban pajak subjektif
bermula atau berakhir di pertengahan akhir pajak, maka pengenaan pajak ini
tidak utuh dalam satu tahun pajak tetapi dalam bagian tahun pajak. Bagi Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri, pengenaan Pajak Penghasilan dalam bagian tahun pajak
ini tidak menimbulkan masalah dalam perhitungan pajaknya. Namun tidak demikian
dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri karena ada unsur Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP).
Hak untuk
mendapatkan PTKP dikaitkan dengan kewajiban pajak subjektif. Jika seseorang
kewajiban pajak subjektifnya meliputi satu tahun penuh, maka PTKP nya pun satu
tahun penuh. Apabila, kewajiban pajak subjektifnya misalnya cuma dua bulan,
maka ia berhak atas PTKP dua bulan. Dari konsep ini lahir istilah
PPh terutang disetahunkan dalam perhitungan PPh Pasal 21 dalam kasus orang
luar negeri yang baru berada di Indonesia pada pertengahan tahun atau orang
yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya pada pertengahan tahun. Begitu juga
dalam kasus orang yang meninggal dunia.
E.
Biaya
Deductible & Non-Deductible
1.
Biaya
Deductible ( Biaya Yang Dapat Dikurangkan)
a. Biaya-biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; termasuk : biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan
atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A.
c. Iuran kepada
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. Kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
e. Kerugian
dari selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya bea
siswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih, yang memenuhi persyaratan ketentuan
perpajakan, yaitu :
i.
Telah dibebankan sebagai biaya dalam
laporan laba rugi komersial.
ii.
Telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan
iii.
Telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus, dan
iv.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar
piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
i.
Sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana nasional yang ketentuannya ditur dengan Peraturan Pemerintah.
j.
Sumbangan dalam rangka penelitian
dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
k.
Biaya pembangunan infrastruktur
sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
l.
Sumbangan fasilitas pendidikan yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
m.
Sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
2.
Biaya
Nondeductibke ( Biaya Yang Tak Dapat Dikurangkan )
- Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
- Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota
- Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
- Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
- Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; serta yang merupakan keharusan dalam dalam melaksanakan pekerjaan sebagai keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya seperti: pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian petugas keamanaan (satpam), antar jemput karyawan, penginapan untuk awak kapal dan sejenisnya .
- Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan .
- Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
- Pajak Penghasilan
- Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
- Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
- Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
F.
Tarif
Umum Pajak Penghasilan
Tarif
Pajak Penghasilan secara umum (disebut juga tarif Pasal 17) diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak
Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak.
Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri. Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas
Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan
dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh.
Misalnya
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif
dibulatkan ke bawah menjadi Rp120.324.000,00. Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak
tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi
berdasarkan Pasal 17 Ayat (1). Penentuan
tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan,
keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang
perubahan ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun
pajak 2001, tarif pajak dibedakan menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan
& BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan
dalam bagian di bawah ini.
1. Tarif Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
10%
|
|
Diatas Rp50.000.000,00 - Rp100.000.000,00
|
15%
|
Di atas Rp100.000.000,00
|
30%
|
2. Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
5%
|
|
Di atas
Rp25.000.000,00 - Rp50.000.000,00
|
10%
|
Di atas Rp50.000.000,00 -Rp100.000.000,00
|
15%
|
Di atas Rp100.000.000,00-
Rp200.000.000,00
|
25%
|
D i atas Rp200.000.000,00
|
35%
|
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pajak adalah kewajiban penduduk
negara untuk dapat menetap serta berusaha dalam negara itu dan memperoleh
perlindungan. Jadi penduduk negara berhak untuk memperoleh perlindungan (hukum
dan sosial ekonomi). Untuk itu penduduk negara berkewajiban membayar pajak
kepada negara.
Penagihan pajak merupakan serangkaian upaya yang
dilakukan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
dengan cara memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melakukan penyanderaan, serta menjual barang-barang yang telah disita. Penagihan
pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu penagihan pajak pasif dan penagihan
pajak aktif. Penagihan pajak pasif merupakan penagihan pajak yang dilakukan
dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak. Sedangkan
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari Penagihan Pajak Pasif, dimana
dalam upaya penagihan ini Fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim
surat tagihan atau surat ketetapan pajak, tetapi akan diikuti dengan tindakan
sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
Subjek pajak
adalah pihak-pihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak, sedangkan
objek pajak adalah segala sesuatu yang yang akan dikenakan pajak. Wajib pajak
adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat-syarat objektif sehingga kepadanya
diwajibkan pajak.
Saran
Pajak merupakan iuran yang
dibayarkan oleh rakyat kepada negara demi terselenggaranya pemerintahan dalam
suatu negara. Yang paling penting agar penagihan pajak itu dapat berjalan
dengan baik adalah partisipasi dari seluruh elemen masyarakat. Dengan begitu
jalannya penagihan pajak di suatu wilayah akan dapat terlaksana dengan baik.
Dan semua proses penyelenggaraan negara pun akan dapat berjalan dengan lancer
tanpa terkendala sedikit pun. Partisipasi aktif tersebut baik dari pihak-pihak
yang dikenai pajak maupun aparat penegak hukum yang bertindak sebagai penagih
pajak.
Daftar pustaka
Resmi,
Siti. 2014. Perpajakan:Teori Dan Kasus. Edisi 8. Salemba Empat. Jakarta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar