Faktor-Faktor Penyebab Kerentanan Ekonomi Indonesia
1.
Ekonomi
Indonesia semakin terbuka dibandingkan, pada awal pemerintahan Orde Baru
(1996). Terutama sejak reformasi ekonomi di sejumlah bidang (khususnya
perdagangan dan keuangan) secara besar-besaran yang dimulai pada tahun 1999
(sebagai respons langsung pemerintah terhadap krisis keuangan Asia tahun
1997-1998 dan atas desakan IMF yang
datang membantu Indonesia waktu itu) menuju liberalisasi dalam sektor-sektor
perdagangan (barang dan jasa), perbankan, dan investasi (langsung/tetap/jangka
panjang, maupun tidak langsung/tidak tetap/jangka pendek/investasi portofolio),
perekonomian Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi dunia. Konsekuensi
langsungnya adalah ekonomi Indonesia menjadi semakin rentan dibandingkan
sebelumnya terhadap setiap goncangan-goncangan ekonomi dunia seperti yang
terjadi pada tahun 2008-2009 tersebut. Krisis ekonomi global itu telah
menyebabkan merosotnya permintaan dunia terhadap sejumlah komoditi, termasuk
beberapa yang juga di produksi dan diekspor oleh Indonesia.
2. Indonesia masih tetap bergantung pada
ekspor dari banyak komoditi primer, yaitu pertambangan dan pertanian.
Konsekuensinya, setiap ketidak stabilan permintaan dunia terhadap
komoditi-komoditi tersebut atau goncangan harga-harga dunia dari
komoditi-komoditi itu, khususnya pertanian (termasuk perkebunan) akan menjadi
sebuah goncangan serius bagi perekonomian Indonesia.
3.
Indonesia
semakin tergantung pada impor dari sejumlah produk makanan yang penting,
termasuk beras, gandum, jagung, daging, sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak.
Akibatnya adalah kenaikan atau ketidak stabilan dari harga-harga produk makanan
tersebut di pasar internasional, atau gagal panen dari produk-produk tersebut
di Negara-negara asal, jelas akan mempunyai suatu efek negatif yang signifikan
tidak hanya terhadap pengeluaran konsumsi minimum rumah tangga tetapi juga akan
mengancam keamanan pangan didalam negri yang bisa berujung pada kerusuhan
social dan kejatuhan kabinet yang sedang berkuasa
4.
Semakin banyak tenaga kerja
Indonesia (TKI), termasuk wanita, yang bekerja di luar negri. Bahkan semakin
banyak desa di tanah air dimana kehidupan masyarakatnya atau pembangunan
ekonominya sangat tergantung pada pengiriman uang dari TKI di luar negri.
Konsekuensinya, pada saat Negara-negara tuan rumah dimana TKI bekerja mengalami
suatu krisis ekonomi, yang memaksa banyak TKI bekerja (dan biasannya sebagian
dari mereka pulang ke kampung halaman), maka jumlah uang yang rutin dikirim ke
Indonesia juga akan berkurang, dan ini artinya akan banyak desa di Indonesia
mengalami kemiskinan.
2.
Mengukur
Tingkat Kerentanan Ekonomi
1.
Definisi
Adger, dkk. (2004) dan Briguglio, dkk. (2008),
keruntanan bukan suatu konsep yang langsung berbeda dengan konsep kemiskinan.
Hingga sekarang, belum ada konsensus mengenai arti yang tepat dari kerentanan.
Tetepi secara umum, kerentanan merujuk kepada potensi kerugian atau kerusakan
yang diakibatkan oleh goncangan eksogen. Di bidang ekonomi, kerentanan ekonomi
merujuk pada risiko-risiko yang disebabkan oleh goncangan eksogan (bisa dari
sumber-sumber internal maupun eksternal) terhadap tiga sistem kunci dari
ekonomi, yaitu produksi, distribusi (dari output
dan input-input) dan konsumsi.
2.
Indikator
Indikator-indikator
kerentanan adalah metodologi paling umum yang digunakan dalam mengkaji tingkat
kerentanan. Cara setandarnya dengan mengkompilasi suatu daftar dari
indikator-indikator yang menggunakan sejumlah kriteria, seperti kontinuitas
mengikuti suatu kerangka kerja konseptual definisi-definisi ketersediaan data
dan sensitivitas terhadap goncangan-goncangan, briguglio, dkk (2008) mengatakan
bahwa pemillihan indicator adalah sesuatu yang subjektif. Namun demikian, untuk
meminimalisasi subjektivitas, mereka menekankan bahwa pemilihan harus
berdasarkan kriteria yang benar dan terkait dengan cakupan yang tepat,
simplisitas dan dengan mudah bisa melakukan perbandingan-perbandingan yang
komprehensif dan berkelanjutan transparansi. Tujuan dari penelitian ini,
seperti yang telah di singgung sebelumnya, yakni untuk menawarkan sejumlah
indicator yang tepat untuk digunakan dalam mengukur tingkat kerentanan terhadap
krisis-krisis ekonomi pada tingkat provinsi.
3.
Analisis
Empiris
Menurut tingkat agresi,kerentanan
ekonomi dapat dikaji pada tingkat makro, yakni bisa sebuah Negara, sebuah
wilayah, misalnya provinsi atau kabupaten, atau suatu kelompok
masyarakat/komunitas, dan pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individu
(seseorang) atau tingkat RT, dua sub-bab beerikut mengusulkan sejumlah rasio
atau variable yang dapat digunakan sebagai indikator-indikator dari kerentanan
ekonomi pada tingkat, masing-masing makro dan mikro.
a.
Indikator-Indikator
Pada Tingkat Makro
1.
Luas
ekonomi/pasar
Suatu Negara atau wilayah kecil
dalam arti jumlah populasinya sedikit membatasi kemampuannya untuk mendapatkan
keuntungan dari sekala ekonomis dan menjadi penghambat bagi kemungkinan
produksi. Oleh kerena itu, luas ekonomi atau pasar harus dianggap sebagai salah
satu indikator ketahanan ekonomi terhadap goncangan-goncangan (Guillaumont
2007).
2.
Kepadatan
dan Struktur Penduduk
Seperti telah dibahas butir 1 bahwa,
total populasi adalah positif bagi ekonomi perihal sekala ekonomis dan
kemungkinan produksi. Semakin banyak jumlah produk, semakin besar luas pasar
domestic atau local. Semakin banyak unit dari suatu jenis produk yang bisa
dibuat, semakin penuh pemakaian kapasitas produksi yang terpasang dan semakin
rendah biaya produksi per satu unit dari produk tersebut ( sekala ekonomis).
Demikian juga, semakin besar populasi, dan semakin banyak angkatan kerja, atau
semakin besar SDM yang tersedia, maka semakin banyak produksi yang bisa
dilakukan. Namun demikian, ada suatu hambatan terhadap sisi positif dari
populasi yang besar.
3.
Lokasi
Geografi
Lokasi yang terisolasi seperti
pulau-pulau kecil di perbatasan (sering disebut sebagai pulau-pulau terluar)
atau desa-desa diatas pegunungan di papua membuat biaya transfortasi menjadi
sangat mahal dan marjinalisasi dalam semua aspek (ekonomi, sosisl dan politik)
kehidupan dari masyarakatnya. Derajat keterbukaan ekonomi suatu wilayah juga
sangat ditentukan, diantara factor-faktor lainnya oleh lokasi geografinya.
menurut banyak penelitian, terpencil dari pusat pasar (untuk barang jadi/autfut maupun bahan baku/infut) merupakan suatu hendikap
structural tidak saja Karena hal itu, merupakan juga salah satu factor
kerentanan (bahkan sekalipun biaya transfortasi mengalami penurunan, misalnya
sebagai suatu hasil dari perbaikan sistem dalam alat-alat transfortasi yang ada
yang di dorong oleh kemajuan teknoligi), jarak tetap merupakan suatu hambatan
bagi kegiatan-kegiatan perdagangan dan investasi.
4.
Struktur
Konsumsi Rumah Tangga
Indikator ini terutama relevan untuk krisis pangan di
Indonesia, provinsi-provinsi atau kabupaten-kabupaten dengan rasio konsumsi
beras terhadap konsumsi non beras yang lebih tinggi (dalam total rata-rata per
RT atau per orang) atau yang memiliki presentase dari konsumsi beras didalam
total pengeluaran (makanan dan non makanan) yang lebih besar pada prinsifnya
lebih rentan terhadap krisis tipe ini dibandingkan provinsi-provinsi atau
kabupaten-kabupaten dengan rasio yang lebih rendah. Krisis pangan terjadi di
suatu wilayah ketika persediaan atau produksi makanan lebih rendah dari pada
kebutuhsn atau konsumsi makanan di wilayah itu.
5.
Keterbukaan
ekonomi
Suatu wilayah dengan derajat
keterbukaan ekonomi yang tinggi menandakan wilayah tersebut melakukan ekpor dan
inpor ( jika wilayah itu berada di suatu Negara,bisa berarti tidak hanya
melakukan perdagangan dengan Negara-negara lain,tetapi juga dengan
wilayah-wilayah lainnya di dalam negeri) secara intensif dan ini bisa di ukur
dengan rasio perdagangan eksternal terhadap PDRB (atau PDB dalam kasus Negara)
menurut Briguglio,DKK (2008), keterbukaan ekonomi hingga suatu besaran tertentu
yang signivikan adalah suatu ciri yang tertanam di dalam ekonomi (bisa dalam
arti suatu Negara atau wilwyah di dalam suatu Negara),yang terkondisikan ruang
dan waktu oleh dua faktor. (1) luas pasar domestic dari Negara bersangkutan
yang mempengaruhirasio ekspor terhadap PDB (atau PDRB dalam kasus prvinsi )
(yang artinya,pasar domestic/local yang lebih kecil,misalnya singapura,
cenderung menambah ekspor.sebaliknya pasar domestik yang lebih besar,misalnya
Indonesia,cenderungmengurangi/membatasi ekspor,ceteris paribus), dan (2)
ketersediaan sumber daya produksi dari Negara yang bersangkutan dan kemampuan
Negara itu untuk memproduksi secara efisien sejumlah barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan permintaan pasar domestiknya. Hal ini akan mempengaruhi
rasio impor terhadap PDB/PDRB (artinya, lebih miskin dalam sumber daya produksi
dan kurangnya kapasitas produksi atau kurangnya kemempuan produksi.
6. Ketergantungan dan difersifikasi
ekspor
Wilayah-wilayah dengan suatu
ketergantungan ekspor yang sangat besar, diukur dengan rasio ekspor terhadap
PDB (PDRB untuk kasus provinsi), mempunyai suatu keterbukaan yang lebih besar
terhadap goncangan-goncangan eksogen dibandingkan wilayah-wilayah yang tidak
terlalu tergantung kepada ekspor.
7.
Ketergantungan
dan diversivikasi impor
Wilayah-wilayah dengan derajat
ketergantungan impor yang tinggi, terutama impor-impor strategis seperti energi
(misalnya minyak bumi atau gas), makanan, SDA krusial lainnya, dan bahan-bahan
industri, diperburuk dengan kemungkinan substitusi impor yang terbatas sangat
rentan terhadap ketidak stabilan suplai dunia (atau ketersediaan stok dunia),
atau dalam harga dunia untuk impor-impor tersebut.
8. Deversifikasi ekonomi
Semakin tinggi pangsa output (persentase) dari, industry
manufaktur atau sector pertanian dalam pembentukan PDB (PDRB dalam kasus
provinsi), semakin tinggi tingkat konsentrasi atau semakin rendah tingkat deversifikasi
ekonomi, selanjutnya untuk setiap tingkat permintaan pasar domestic yang ada
(ditentukan oleh besarnya populasi dan pendapatan rill per kapita)tingginya
tingkat konsentrasi ekonomi juga berarti tingginya tingkat ketergantungan impor untuk barang dan jasa lain yang tidak
dibuat di dalam negri atau domestiknya sedikit (direfleksikan oleh kecilnya
sumbangan PDB/PDRB dari industri atau sektor yang membuat barang dan jasa itu).
9.
Pendapatan
rill per kapita
Pendapatan rill per kapita sering digunakan sebagai
sebuah indicator kesejahteraan, yang menandakan daya beli dari sebuah ekonomi.
Namun demikian, indicator ini tidak menunjukan total kesejahteraan dari sebuah Negara atau wilayah sejak data
nasional mengenai pendapatan hanya mencakup pendapatan-pendapatan actual yang
diterima oleh pekerja-pekerja dan hasil dari mengkomersialisasikan asat-aset
fisik (tidak termasuk SDM), misalnya, rumah sendiri yang tidak digunakan untuk
disewakan
10. Rumah tangga menurut kelompok
pendapatan
Sebelumnya telah dibahas pendapatan per kapita di
suatu wilayah. Namun demikian, pendapatan atau kekayaan rill yang tinggi di
suatu Negara/wilayah tidak akan berarti sama sekali jika pendapatan tersebut
tidak terdistribusikan relatif merata ke seluruh penduduknya. Hal ini dapat
dikatakan bahwa ketika pendapatan rill per kapita di suatu provinsi tinggi,
maka tingkat kemiskinan di provinsi itu juga bisa tinggi karena kesenjangan
pendapatan sangat besar.
11. Kemiskinan
Tingkat kemiskinan di suatu wilayah umumnya diukur
dengan proporsi dari jumlah penduduk di wilayah yang hidup dibawah garis
kemiskinan yang berlaku. Tingkat kemiskinan adalah suatu indikasi untuk tingkat
sensitivitas maupun tingkat ketahanan suatu wilayah terhadap goncangan. Dasar
pemikirannya mengungkapkan bahwa hanya orang atau RT yang tidak miskin (yang
memiliki uang cukup atau aset bernilai tinggi) yang lebih mampu menghadapi suatu
krisis ekonomi dibandingkan mereka yang miskin. Jadi suatu hipotesisnya wilayah
miskin ( dimana sebagian besar penduduknya hidup dibawah garis kemiskinan yang
berlaku) lebih rentan terhadap suatu krisis ekonomi, atau wilayah tersebut
lebih banyak kesulitan dibandingkan wilayah kaya (dimana sebagian besar wilayah
penduduknya hidup di atas garis kemiskinan yang berlaku) dalam menghadapi atau
menanggulangi efek negative dari sebuah goncangan ekonomi (baik yang berasal
dari sumber-sumber internal maupun internal), ceteris paribus.
12.
Kemajuan
pendidikan
Kemajuan pendidikan biasanya diukur dengan dua
indicator modal manusia, yakni jumlah anak-anak yang bisa membaca dan menulis
dan rasio-rasio mengikuti pendidikan atau pendaftaran sekolah. Alternatifnya,
juga di ukur dengan sebuah indeks yaitu indeks pengembangan manusia (Human Development Index HDI) dari United Nations Development Program (UNDP).
Kemajuan pendidikan umumnya dianggap sebagai suatu determinan penting dari
kemampuan suatu wilayah/komunitas dalam menghadapi dan menanggulangi suatu
krisis atau bencana. Jadi, dengan asumsi orang berpendidikan biasanya lebih
terbuka dan juga lebih tahan terhadap goncangan.
13. Kondisi kesehatan
Kesehatan merupakan Suatu indikator modal manusia yang
krusial, kemajuan dalam pendidikan atau keberhasilan mencapai pendidikan tinggi
tidak akan pernah tercapai dalam suatu komunitas yang tidak sehat. Dengan kata
lain pendidikan dan kesehatan punya peran yang sama mereka adalah dua faktor
yang bersifat komplementer satu dengan yang lainnya.
14. Kemampuan teknologi
Teknologi
adalah determinan paling penting selain SDM bagi pembangunan dan kemajuan atau
kesejahteraan ekonomi. Jadi wilayah dengan kemampuan teknologi tinggi memiliki
ketahanan lebih besar terhadap goncangan dibandingkan wilayah dengan
kapabilitas rendah dalam pengembangan atau penguasaan teknologi, ceteris paribus.
15. Infrastruktur sosial-ekonomi
Hipotesis
terkait tingkat kerentanan (ketahanan) ekonomi di wilayah yang infrastruktur
social dan ekonominya maju lebih rendah/tinggi dibandingkan wilayah yang masih
terbelakang atau wilayah pertama yang lebih mampu/cepat untuk pilih kembali
dari suatu krisis ekonomi dengan kerugian lebih kecil dibandingkan dengan
wilayah infrastruktur sosial-ekonominya buruk.
16. Modal sosial
Pentingnya
modal sosial diakui umum sebagai suatu faktor krusial dalam membangun dan
memelihara kepercayaan yang harus ada untuk kepaduan dan kemajuan sosial. Di
dalam bidang ekonomi, modal sosial penting sebagai suatu faktor penentu tingkat
kelayakan dan produktivitas dari kegiatan-kegiatan ekonomi (Putman 1993).hal
ini memberi kesan adanya suatu keterkaitan positif antara sifat alamiah dari
proses pembangunan ekonomi dan modal sosial.
17. Pertisipasi wanita dalam kesempatan
kerja/kegiatan ekonomi
Tingkat
partisipasi wanita sudah semakin tinggi dalam segala aspek kehidupan, baik
ekonomi sosial maupun politik.karena banyak hambatan yang dihadapi oleh
sebagian besar wanita di Indonesia seperti kultur, budaya, agama, norma,
tradisi, dan praktek-praktek yang bisa dilakukan lelaki. Tingkat marjinalisasi
wanita di Indonesia seperti diberbagai NB lainnya secara umum dipercaya masih
lebih tinggi daripada di dunia maju.
18.
Stabilitas
ekonomi makro
Mengikuti kinerja dari Briguglio dkk. (2008) dalam
membuat suatu indeks ketahanan, stabilitas ekonomi makro di amggap sebagai
suatu variable penting yang menangkap efek dari penyerapan goncangan atau
kebijakan-kebijakan anti goncangan . stabilitas ekonomi makro berhubungn dengan
suatu keseimbangan ekonomi internal (yakni permintaan agragat sama dengan
penawaran agregat), yang dimanifestasikan dalam suatu fiscal atau posisi
keuangan dan anggaran pemerintah (pengeluaran pemerintah relatif terhadap
pendapatan pajak dan pendapatan pemerintah lainnya) yang berkelanjutan, laju
pertumbuha PDB yang lebih tinggi, laju imflasi yang rendah, dan tingkat
pengangguran /kesempatan kerja yang dekat dengan tingkat alaminya maupun dengan
suatu keseimbangan eksternal.
19.
Efisiensi
pasar ekonomi mikro
Efisiensi pasar ekonomi mikro juga dianggap sebagai
suatu komponen penting dari indeks ketahanan yang ditawarkan oleh Biuguglio,
dkk (2008). Pembenaran teoritisnya dari pemakaian komponen tersebut adalah
sebuah ekonomi akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dari semua sumber daya
produktif yang ada dialokasikan melalui mekanisme harga yang tidak terdistoris.
Pada saat suatu krisis ekonomi terjadi, semakin efisien sebuah ekonomi, semakin
lebih cepat proses penyesuaian pasar untuk mencapai suatu keseimbangan yang
baru, dan semakin sedikit biaya kerugian yang harus dibayar dalam peroses
pemulihan.
b. Indikator-indikator pada tingkat
mikro
Sebelumnya telah dibahas
indikator-indikator kerentanan ekonomi pada tingkat makro pengan fokus pada
tingkat provinsi, tetapi tentu yang menjadi masalah adalah kerentanan individu
atau RT, terutama dari kelompok miskin. Hal ini sangat jelas bahwa kerentanan
ekonomi dari suatu Negara dari tingkat makro berasosiasi dengan kerentanan pada
tingkat mikro, tergantung pada bagaimana suatu krisis mempengaruhi ekonomi
tersebut dan kehidupan masyarakat secara individu maupun kelompok, misalnya RT.
Kerentanan suatu RT mempunyai tiga komponen utama :
1. Goncangan
pada pendapatan/penghasilan RT tersebut, yang tergantung pada besarnya dan
sifat dari goncangan itu sendiri, dari keterbukaan serta ketahanannya terhadap
goncangan pada tingkat makro.
2. Kepekaan
dari RT tersebut terhadap goncangan itu.
3. Kapasitas
dari RT tersebut untuk bereaksi, yaitu
tingkat ketahanannya. Apabila di suatu daerah, semua RT ternyata rentan, maka
itu akan terrefleksikan oleh ketahanan yang rendah dari daerah itu (pada
tingkat makro). Dengan kata lain, ada suatu hubungan positif antara derajat
ketahanan (tingkat kerentanan) pada tingkat makro dan pada tingkat mikro
(Guillaumont,2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar